WILLEM ISKANDER (1840-1876):
PELOPOR PENDIDIKAN DARI SUMATERA UTARA
Sati Nasution gelar Sutan Iskandar
Baginda Mangaraja Enda, generasi III Dinasti Nasution, mempunyai tiga orang isteri yang melahirkan raja-raja Mandailing. Isteri pertama boru Lubis dari Roburan yang melahirkan putera mahkota Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar. Baginda Mangaraja Enda menobatkan Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar menjadi raja di Hutasiantar dengan kedudukan yang sama dengan dirinya.
Isteri kedua, boru Hasibuan dari Lumbanbalian yang melahirkan empat orang putera yang kelak menjadi raja. Mereka adalah Sutan Panjalinan raja di Lumbandolok, Mangaraja Lobi raja di Gunung Manaon, Mangaraja Porkas raja di Manyabar dan Mangaraja Upar atau Mangaraja Sojuangon raja di Panyabungan Jae. Isteri ketiga, boru Pulungan dari Hutabargot yang melahirkan dua orang putera, ialah: Mangaraja Somorong raja di Panyabungan Julu dan Mangaraja Sian raja di Panyabungan Tonga.
Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar menobatkan tiga orang puteranya menjadi raja, masing-masing Baginda Soalohon raja di Pidoli Lombang, Batara Guru raja di Gunungtua, dan Mangaraja Mandailing raja di Pidoli Dolok.
Penobatan tiga putera Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar itu dilakukan menyusul pemberontakan yang dilancarkan raja-raja di tiga daerah tersebut terhadap Baginda Mangaraja Enda. Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar berhasil memadamkan pemberontakan terhadap ayahandanya itu. Sementara itu raja- raja yang berontak eksodus bersama sebagian rakyatnya ke daerah pantai dan pedalaman Pasaman.
Ada tiga tokoh penting dalam generasi XI Dinasti Nasution. Pertama, Sutan Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar, yang biasa disingkat menjadi Yang Dipertuan. Tokoh ini dikenal sebagai raja ulama yang namanya banyak disebutkan oleh Multatuli di dalam karyanya Max Havelaar. Belanda menjulukinya Primaat Mandailing. Yang Dipertuan membantu kompeni melawan pasukan Paderi. Tokoh inilah yang bekerjasama dengan Asisten Residen Mandailing Angkola, 1848-1857,
Alexander Philippus Godon (1816-1899), merancang dan membangun mega proyek jalan ekonomi dari Panyabungan ke pelabuhan Natal sepanjang kl. 90 kilometer. Kedua, Sutan Muhammad Natal, yang banyak disebut Multatuli di dalam Max Havelaar dengan nama Tuanku Natal, seorang raja Natal yang muda dan cerdas, sahabat karib Multuli ketika menjabat Kontrolir Natal (1842-1843). Ketiga, Sati gelar Sutan Iskandar ialah tokoh kita, Willem Iskander, yang lahir di Pidoli Lombang pada bulan Maret 1840. Tuanku Natal dan Willem Iskander adalah cucu langsung dari Sutan Kumala Porang, raja Pidoli Lombang.
Pada usia 13 tahun, 1853, Sati masuk sekolah rendah dua tahun yang didirikan Godon di Panyabungan. Begitu lulus, 1855, Sati diangkat menjadi guru di sekolahnya. Barangkali Willem Iskander lah guru formal termuda, 15 tahun, dalam sejarah pendidikan Indonesia. Pada saat yang sama ia juga diangkat oleh Godon menjadi juru tulis bumiputera (adjunct inlandsch schrijfer) di kantor Asisten Residen Mandailing Angkola di Panyabungan. Jabatan guru dan juru tulis itu dijabatnya dua tahun, menggantikan Haji Nawawi yang berasal dari Natal, sampai menjelang keberangkatannya ke Negeri Belanda bersama Godon, Februari 1857.
Salah satu penemuan saya tentang riwayat hidup Willem Iskander adalah Acte van bekenheid, ialah Surat Kenal sebagai pengganti Akte Kelahiran. Dokumen inilah antara lain yang saya pamerkan pada acara peringatan 100 tahun wafatnya Willem Iskander tanggal 8 Mei 1976 di Geliga Restaurant, Jln. Wahid Hasyim 77C, Jakarta Pusat. Sejak itu masyarakat mengetahui tarikh kelahiran Willem Iskander, ialah pada bulan Maret 1840 di Pidoli Lombang, Mandailing Godang. Ibunya Si Anggur boru Lubis dari Rao-rao dan ayahnya Raja Tinating, Raja Pidoli Lombang.
Akte ini dibuat oleh sejumlah orang yang memberikan kesaksian tentang kelahiran Willem Iskander, ialah Arnoldus Johannes Pluggers amtenar diOnderafdeeling Groot Mandailing en Batang Natal, Johannes Hendrik Kloesman berusia 50 tahun amtenar yang berdiam di Tanobato, dan Philippus Brandon usia 40 tahun amtenar yang berdiam di Muarasoma. Akte bertanggal 28 Februari tahun 1874 ini ditandatangani oleh tiga amtenar tersebut, kemudian dilegalisasi oleh Residen Tapanuli, H.D. Canne, di Sibolga. Seterusnya akte ini dilegalisasi lagi oleh Sekretaris.
Ministerie van Kolonien, Henney, di Den Haag pada tanggal 7 Juni tahun 1876. Nama Sati Nasution gelar Sutan Iskandar adalah nama yang dicantumkan di dalam teks Acte van Bekenheid. Nama Willem Iskander diberikan kepadanya ketika dia masuk Kristen di Arnhem pada tahun 1858, setahun sebelum ia belajar diOefenschool di Amsterdam. Seterusnya, nama Willem Iskander dipakainya di dalam karyanya, surat-surat, beslit, piagam, surat nikah dll. Jadi adalah salah kalau orang menulis namanya menjadi Willem Iskandar, yang benar adalah Willem Iskander.